Di Dalam Gerbong
Sepanjang gerbong-gerbong di dalam KRL Ekonomi Jakarta-Bogor inilah Dhea menghabiskan hari-harinya mencari sedikit penghidupan untuk dirinya dan keluarganya. 11 tahun sudah Dhea hidup di dunia ini, 11 tahun itu juga Dhea menghabiskan hari-harinya dari gerbong ke gerbong dalam kereta Jakarta – Bogor bersama keluarganya, mengamen untuk hidup.
Ayah dan ibu Dhea dulunya juga pengamen di dalam kereta, hingga akhirnya mereka berkeluarga dan mempunyai anak, mereka tetap mengamen karena hanya inilah yang mereka bias. Maklum ayah dan ibu Dhea tidak lulus sekolah dasar, sehingga mereka tidak punya keterampilan apa pun yang bisa dijadikan modal untuk mencari pekerjaan.
Terbiasa dibawa orang tuanya mengamen di dalam kereta, karena alasan bila membawa anak kecil pendapatan menjadi lebih besar, membuat pekerjaan ini seperti telah mendarah daging dalam diri Dhea dan saudara-saudaranya, tanpa disuruh apalagi dipaksa untuk mengamen, Dhea dengan senang hati menawarkan dirinya untuk mengamen sendiri membantu keluarganya, saudaranya yang lain pun begitu. Terhitung sejak masuk sekolah dasar, Dhea dan saudara-saudaranya sudah dilepas orang tuanya untuk mengamen sendiri di dalam kereta, dimulai dari Stasiun Kereta Cilebut, Stasiun Kereta Bogor hingga Stasiun Kereta Manggarai lalu kembali lagi ke Stasiun Kereta Cilebut, istirahat sebentar kemudianmengulang kembali rute tersebut sampai kereta terakhir dari Stasiun Kereta Bogor menuju Jakarta yang singgah di Stasiun Kereta Cilebut pada pukul 21.00 WIB barulah Dhea bisa beristirahat.
Sekarang ini orang tua Dhea tidak lagi mengamen di dalam kereta, mereka sudah punya sebuah warung kecil di peron Stasiun Kereta Cilebut, yang modalnya juga didapatkan dari hasil mengamen keluarganya selama bertahun-tahun yang ditabung sedikit demi sedikit. Terkadang orang tua Dhea masih mengamen, tapi bukan di dalam kereta lagi, melainkan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Bersama anak-anaknya mereka berangkat dari rumahnya di Cilebut mengendarai motor sampai Pasar Induk pada pagi-pagi buta pukul 02.00 WIB. Tapi untuk pekerjaan yang satu ini, biasanya hanya mereka jalankan satu kali seminggu, selebihnya mereka menjaga warung dan hanya mengawasi anak-anak turun-naik kereta untuk mengamen.
Tidak tahu kenapa, tapi sepertinya orang tua Dhea tidak khawatir anak-anaknya suatu waktu akan tertimpa kemalangan yang buruk dikarenakan pengawasan yang minim selama anak-anaknya mengamen hingga jauh ke Manggarai, padahal mereka sendiri tahu Dhea dan adiknya, Dhita, pernah dua kali dipreteli perhiasannya dan diambil uang hasil mengamennya oleh orang jahat berjilbab yang berpura-pura baik hati menawarkan makan siang. Dhea sendiri dan saudara-saudaranya juga terkesan tak mau ambil pusing dengan kejadian yang pernah menimpanya itu, padahal anak-anak jalanan seperti Dhea dan saudara-saudaranya merupakan ladang yang subur untuk kejahatan.
Dhea dan Amplop-amplop Angpaunya
Dhea sedang membagikan amplop yang digunakan sebagai wadah untuk tempat menaruh uang pemberian para penumpang kereta kepadanya. Amplop-amplop ini di depannya sudah ditulisi kata-kata yang dapat membangkitkan simpati penumpang kereta terhadapnya, sehingga mereka tidak segan mengeluarkan uang untuknya.
Berebut Rezeki
Tidak hanya Dhea yang menggantungkan mata pencahariannya dari gerbong ke gerbong di dalam kereta. Ada ratusan pedagang dan pengamen lainnya yang juga mencari nafkah di sini. Walaupun rezeki sudah ditentukan oleh Tuhan, tak dipungkiri di sini setiap harinya terjadi perebutan rezeki karena terlalu banyaknya yang menggantungkan penghidupannya di dalam gerbong kereta.
Ketika ditanya mau sampai kapan terus mengamen di dalam kereta, Dhea menjawab, "gak tau.." dengan pandangan yang kosong. Hanya kakaknya yang pertama dan yang kedua yang sudah berhenti mengamen. Yang pertama karena sudah menikah dan dilarang suaminya untuk mengamen lagi, sedangkan yang kedua berhenti mengamen karena katanya malu sudah besar masih saja mengamen dan akhirnya memilih untuk berdagang minuman saja di kereta. Dhea dan dua saudaranya yang lain masih setia mengamen stereo di dalam kereta. Mungkin dikarenakan keluarga Dhea sudah merasa bahwa dari pekerjaan inilah mereka dapat hidup, sehingga sulit bagi mereka melepaskan pekerjaan ini.
Dhea dengan Mainannya
Walaupun setiap harinya Dhea harus mengamen untuk membantu kehidupan keluarganya, namun pada hakikatnya Dhea tetaplah seorang anak berumur 11 tahun yang masih suka bermain. Maka dengan pendapatannya dari mengamen stereo di kereta, Dhea bisa meminta dibelikan apa saja kepada orang tuanya, termasuk sebuah otopet mainan yang dibeli dari hasil mengamennya, tempat bermainnya pun tak jauh-jauh dari lokasi pencarian nafkahnya, stasiun kereta.
Untuk pendapatan, setiap harinya dari Dhea saja biasanya dapat menghasilkan Rp 20,000,- s/d Rp 50,000,-. Belum lagi dari dua saudara Dhea lainnya. Uang hasil mengamen ini mereka berikan seutuhnya kepada orangtuanya untuk nantinya dipakai membayar sekolah, membeli buku pelajaran, jajan dan kebutuhan hidup mereka lainnya. Walaupun terkesan sulit, tapi ternyata hidup mereka tidak benar-benar sesulit yang kita bayangkan, terbukti dari barang-barang yang mereka miliki dari hasil mengamen ini, seperti motor, mainan baru, telepon genggam sampai rumah. Pantas mereka tidak mau melepas pekerjaan ini. Inilah pilihan hidup mereka sendiri, dengan Dhea di dalamnya.[maskolis.blogspot.com]
sumber:http://osserem.blogspot.com/2011/09/kisah-perjuangan-dhea-bocah-pengamen.html